MAKALAH KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN ISLAM (DIKOTOMI ILMU DAN PERMASALAHANNYA)
DIKOTOMI ILMU DAN
PERMASALAHANNYA

MAKALAH
Dipresentasikan
dalam forum seminar kelas untuk memenuhi salah satu tugas
mata
kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam
OLEH:
KELOMPOK VIII
BASO SALAHUDDIN (180101053)
ZALDA WULANDARI (180101048)
NURATIKA B. LUKMAN (180101051)
Dosen
Pengampuh:
R. Nurhayati,
S.Pd.I.,M.Pd.I.
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU
KEGURUAN
IAI MUHAMMADIYAH SINJAI
T.A. 2019/2020
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu
wata΄ala, karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Dikotomi Ilmu dan
Permasalahannya. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas
mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam.
Pada
kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah yang kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun
ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Terima kasih.
Sinjai,
22 Februari 2020
KELOMPOK VIII
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR
ISI .................................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A.
Latar Belakang ................................................................................ 1
B.
Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN .............................................................................. 3
A.
Pengertian Dikotomi
Ilmu................................................................
3
B.
Pokok-Pokok Masalah
Dikotomi Ilmu.............................................
7
C.
Penyebab Kemunculan
Dikotomi Ilmu............................................
9
D.
Dampak Terjadinya
Dikotomi Ilmu................................................. 11
E.
Solusi Permasalahan
Dikotomi Ilmu ............................................... 17
BAB
III PENUTUP ........................................................................................ 20
A.
Kesimpulan ..................................................................................... 20
B.
Saran ............................................................................................... 21
DAFTAR
PUSTAKA ..................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan di era modern mengalami perkembangan yang
sangat pesat, hal ini dikarenakan oleh arus globalisasi yang semakin lama
semakin tidak terbendung, mau tidak mau, suka tidak suka, arus globalisasi itu
tetap datang. Tidak mungkin lagi bertahan hanya dengan tradisi lama, akan
tetapi menjadi sangat perlu untuk menyesuaikan diri dengan peradaban yang baru
juga.
Belakangan pendidikan mengalami pasang surut. Ada
kalanya pendidikan lebih mengarah pada cara manusia untuk mendapatkan materi
sebanyak mungkin sehingga menjadikan pendidikan umum sangat popular dan
sebaliknya yang terjadi pada pendidikan yang berbau akhirat menjadi
termarjinalkan. Adakalanya berbanding terbalik, pendidikan agama menjadi sangat
banyak diminati para pelajar dan pendidikan umum sedikit diabaikan. Maka jarang
sekali keduanya bisa berimbang sehingga menambah lebar perseteruan pada wacana
dikotomi pendidikan Islam dan hal inilah yang terjadi pada pendidikan Islam.
Dalam islam, tidak ada istilah pendikotomian ilmu, yang ada hanyalah pengkalisifikasian
ilmu. Namun, pada praktiknya, pengklasifikasian ilmu salah diartikan oleh
banyak kalangan masyarakat muslim itu sendiri.[1]
Dalam dataran konsep ideal, menurut penafsiran sebagian
cendekiawan, islam diyakini sebagai ajaran yang memuat semua sistem
pengetahuan, tidak ada dikotomi dalam sistem keilmuan islam. Namun, kenyataan
yang terjadi adalah sebaliknya. Akibatnya, selama beberapa dekade persoalan
dikotomi ilmu yang dihadapi dunia islam tak pernah berhenti dan selalu
dihadapkan pada pembedaan antara apa yang disebut ilmu Islam dan non Islam,
ilmu Barat dan ilmu Timur.[2]
B.
Rumusan
Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan dikotomi Ilmu?
2.
Bagaimana
pokok-pokok permasalahan dikotomi ilmu?
3.
Faktor-faktor
apakah yang menyebabkan munculnya dikotomi ilmu?
4.
Apa
dampak yang ditimbulkan akibat dikotomi ilmu?
5.
Bagaiaman
solusi yang ditawarkan untuk permasalahan dikotomi ilmu?
C.
Tujuan Penulisan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “Kapita Selekta Pendidikan
Islam”, makalah ini juga dibuat untuk mengetahui dan memahami tentang:
1.
Pengertian
dikotomi ilmu
2.
Pokok-pokok
masalah dikotomi ilmu dalam islam
3.
Faktor
yang menyebabkan munculnya dikotomi ilmu
4.
Dampak
yang ditimbulkan akibat dikotomi ilmu
5.
Solusi
permasalahan dikotomi ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Dikotomi Ilmu
Secara leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikotomi
mempunyai pengertian sebagai pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan.
Dua kelompok yang dimaksudkan tentu saja diperuntukkan bukan hanya pada dunia
pendidikan akan tetapi mencakup semua hal yang bertentangan. Dengan demikian,
segala hal yang membagi sesuatu menjadi dua kelompok yang bebeda bahkan saling
bertentangan antara kelompok tersebut adalah dikotomi. Berarti, pengertian
dikotomi ilmu adalah membedakan, memisahkan ilmu menjadi dua kelompok atau dua
bagian yang saling berbeda dan bertentangan.
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua,
bercabang dua bagian. Adajuga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di
dua kelompok yang saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami
sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi
fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual,
dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu
sendiri (split personality) Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius
dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi diatas,
maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara
pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan
dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi
masuk pada wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan
Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam
yang kaffah (menyeluruh).[3]
Adapun menurut para ahli, istilah dikotomi diartikan
berbeda-beda, diantaranya:
a.
Dalam kamus ilmiah popular sebagaimana yang diutarakan oleh Pius
A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry mengartikan dikotomi sebagai pembagian dalam
dua bagian yang saling bertentangan.
b.
Mujammil Qomar mengartikan dikotomi sebagai pembagian atas dua
konsep yang saling bertentangan. Dalam pernyataan ini Muzammil Qomar membedakan
pertentangannya pada tataran konsep saja.
c.
Jamaladdin Idris seperti yang dikutip oleh Yuldelasharmi
mengartikan dikotomi sebagai pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis
menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak
dapat dimasukkan ke dalam yang satunya
lagi dan sebaliknya.
d.
Istilah lain dari dikotomi ilmu yang lebih menukik pada akar ilmu
adalah pandangan dari A. Malik Fadjar yang mengistilahkan dikotomi dengan hellenis
untuk ilmu umum atau ilmu modern dan semitis untuk ilmu agama.
Gagasan hellenis berasal dari Yunani klasik yang ciri menonjolnya
memberikan porsi yang amat besar kepada otoritas akal, mengutamakan sikap
rasional serta lebih menyukai ilmu-ilmu sekuler. Sedangkan gagasan semitis mewarnai
alam pikiran kaum agamawan, terutama agama Yahudi dan Nasrani yang mendahului
Islam, dengan ciri memberikan porsi yang amat besar kepada otoritas wahyu,
sikap patuh terhadap dogma serta berorientasi kepada ilmu-ilmu keagamaan.
e.
Istilah lain yang diungkap oleh Harun Nasution dalam buku Islam
Rasional, bahwa ia menyebut sikap yang memisahkan terhadap ilmu dengan
istilah dualisme ilmu. Dalam dualisme, unsur-unsur yang paling mendasar dari
setiap realitas cenderung dipertentangkan namun tidak saling menafikan antara
keduanya, misalnya dalam ilmu teologi sebagaimana bidang keilmuan Harun
Nasution mencontohkan kejahatan dan kebaikan, Tuhan dan alam semesta, ruhani
dan jasmani, jiwa dan badan, dan lainnya.
Dari banyaknya istilah yang dipakai dalam dikotomi
pendidikan Islam maka secara garis besar semua istilah yang dipakai mengerucut
pada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum, yang artinya semua eksistensi
ilmu dipertentangkan dan dipisahkan antara satu dengan lainnya dalam bingkai
realitas yang terfregmentasi menjadi sub sistem yang masing-masing berdiri sendiri.
Konsekuensi dikotomi sebagaiamana yang disebutkan seperti istilah di atas akan
berimplikasi pada keterasingan ilmu-ilmu agama terhadap kemodernan dan
menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai agama. Jika istilah
dikotomi ilmu itu hanya sekedar membedakan dengan tujuan pengklasifikasian ilmu
menjadi ilmu agama dan ilmu non agama, maka dikotomi menjadi hal yang biasa
saja (bisa bernilai positif). Akan tetapi, jika dikotomi ilmu pengetahuan
dengan mendeskriminasi salah satu ilmu pengetahuan, maka ini akan berdampak
buruk bagi masing-masing ilmu pengetahuan.[4]
Dikotomi adalah pembagian dua kelompok yang saling
bertentangan. Dalam implikasinya, disebutkan sebagai ilmu umum dan ilmu Islam,
pendidikan umum dan pendidikan Islam, guru pendidikan umum dan guru pendidikan
Islam, sekolah umum dan sekolah agama Dengan dengan demikian, dikotomi ilmu
yang dimaksud di sini adalah pembagian dua kelompok ilmu pengetahuan, secara
lahiriah kelihatan bertentangan, yang diklaim bahwa ilmu agama berasal dari
Islam, sementara ilmu umum diklaim berasal dari Barat.
Karena terlanjur ada pendikotomian ilmu yang dilakukan
oleh sebagian pakar pendidikan, maka pada gilirannya pula melahirkan istilah
lain yang disebut dengan “dualisme pendidikan”, yakni pendidikan agama dan
pendidikan umum. Istilah dualisme diartikan sebagai dua paham atau pemahaman
yang berkembang dan dianut dalam suatu komunitas. Pemahaman itu mungkin tampak
sejalan dan mungkin kontradiksi. Jika kemungkinan yang terakhir disebut
(kontradiksi) yang timbul lalu ditarik benang merah, maka ia semakna dengan
dikotomi secara lahiriah.
Kembali kepada istilah dualisme, secara semantik term
ini berarti dua macam pengetahuan atau dua macam pandangan, yaitu:
1.
Pengetahuan (ilmu) yang rasional pemerolehannya (epistemologi-nya)
melalui akal.
2.
Pengetahuan (ilmu) non rasional pemerolehannya melalui wahyu.
Kaitannya dengan pendidikan, ilmu rasional itu disebut
ilmu umum yang kemudian melahirkan sekolah umum. Ilmu non rasional disebut ilmu
agama yang kemudian melahirkan bidang-bidang studi agama pemisahana di antara
keduanya.[5]
Berkaitan dengan dikotomi ilmu,
Mulyadi Kartanegara berpendapat bahwa dikotomi diartikan sebagai penggolongan
atau pemilahan, bukan pemisahan atau pertentangan, apalagi samapai berimplikasi
pada adanya sikap kalau ilmu agama urusan akhirat dan ilmu umum urusan dunia,
ini jelas keliru. Karena dalam Islam urusan apapun di dunia memiliki kaitan
dengan urusan akhirat kelak. Menurutnya, dikotomi ilmu kedalam ilmu agama dan
non-agama sudah menjadi tradisi Islam semenjak zaman klasik.pemilahan antara
ilmu-ilmu agama dan umum sebenarnya telah diperkenalkan oleh para cendekiawan
seperti Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Tetapi, kedua tokoh ini menggunakan konsep
ilmu yang integral dan menenukan dasar yang dapat menyatukan keduanya. Dikotomi
yang mereka lakukan hanya penjenisan bukan pemisahan, apalagi penolakan
validitas dari jenis ilmu yang satu dengan yang lainnya. Karenanya, tidak
terjadi dualisme sistem pendidikan, baik madrasah maupun universitas, kurikulumnya
terintegrasi meliputi ilmu agama dan ilmu umum.
Al-Ghazali
dalam kitabnya Ihya Ulum Al-Din menyebutkan dua jenis ilmu tersebut
bernama ilmu syar’iyah yang diidentikkan dengan ilmu agama dan hukumnya
fardu ‘ain serta ilmu ghair syar’iyah yang diidentikkan dengan
ilmu umum dan hukumnya fardu kifayah tapi jika ilmu itu dipelajari
terutma seperti ilmu logika dan matematika, hendaknya dipelajari dengan
seksama. Demikian juga Ibnu Khaldun, membagi ilmu dalam 2 jenis. Pertama, ilmu
naqliyyah yakni ilmu yang berdasarkan otoritas (Al-Qur’an dan Hadits),
contohnya Ilmu Kalam dan Tasawuf. Kedua, ilmu aqliyyah yakni ilmu
berdasar akal atau dalil rasional seperti Filsafat, Matematika, dan Fisika.[6]
B.
Pokok-Pokok
Masalah Dikotomi Ilmu dalam Islam
Pertanyaan
klasik yang selalu menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu adalah ;
pengetahuan manusia itu “bawaan” (inborn) atau bentukan (acquired)? Pertanyaan
ini memiliki rangka bangun karakter sejenis dalam perdebatan umum pencarian
ilmu pengetahuan tentang asal mula kehidupan. Apakah kehidupan dimulai dari
benda mati (abiogenesis) atau makhluk hidup (biogenesis)? Pertanyaan sejenis
bipolaritas kutub berlawanan ini pula yang menjadi ciri utama gejala semesta
“ada”.
Pada
sisi lain, awal mula perdebatan dikotomi ilmu dalam islam dimulai dengan
kemunculan penafsiran dalam ajaran Islam bahwa Tuhan pemilik tunggal ilmu
pengetahuan (Maha ‘Alim). Ilmu pengetahuan yang diberikan pada manusia hanya
merupakan bagian terkecil dari ilmu-Nya, namun manusia diberi kebebasan untuk
meraih sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, sangatlah tidak pantas jika ada
manusia yang bersikap sombong dalam masalah ilmu atau memiliki kecongkakan
intelektual. Keyakinan ini yang pada puncaknya melahirkan perdebatan dikotomi
ilmu dalam pemikiran islam, yaitu pertentangan dikotomi ilmu dengan istilah
kelompok ilmu “antroposentris” duhadapkan dengan kelompok ilmu “teosentris”.
Berdasarkan
ilmu argumen epistemologi, ilmu pengetahuan antroposentris dinyatakan bersumber
dari manusia dengan ciri khas akal atau rasio sedangkan ilmu pengetahuan
teosentris dinyatakan bersumber dari Tuhan dengan ciri khas “kewahyuan”. Maka
terbentuklah pertentangan antara dua jenis ilmu, yaitu agama dan filsafat.
Agama yang menekankan pada pengetahuan kewahyuan dipertentangkan dengan
filsafat yang menekankan pada akal manusia.
Filsafat
yang tidak lain adalah akar ilmu pengetahuan dikategorikan dalam kelompok ilmu
umum. Agama meskipun kadang-kadang tidak diteruskan atau digandengkan dengan
kata Islam, maka yang dimaksud ialah agama Islam. Hal ini dapat saja khususnya
di Indonesia karena ajaran agama Islam dianut oleh penduduk secara mayoritas.
Kemudian
agama dikelompukkan kedalam ilmu islam. Dengan alasan akumulasi kuantitatif
wilayah, dimana filsafat lebih banyak dipelajari di negara-negara Barat dan
agama dipelajari dinegara-negara Timur, pertentangan ini menjadi pertentangan
dua kelompok ilmu dengan istilah “Barat dan Timur”. Disamping itu, filsafat
yang cenderung mempelajari ilmu-ilmu keduniawian kemudian di “kecam” sebagai
ilmu seluler karena tergolong ilmu yang mempelajari benda-benda yang tidak
dianggap sakral dan jauh dari muatan keagamaan.
Perdebatan
dikotomi ilmu ini tidak terbatas pada kajian tersebut, tetapi meluas dan
mendalam terlebih dipicu oleh fanatisme agama. Akibatnya seringkali perdebatan
dikotomi ilmu berakibat pada pengelompokan-pengelompokan ilmu yang
terpisah-pisah dan menjalar keberbagai aspek kehidupan. Seperti halnya
pengelompokkan ilmu-ilmu yang Islam dengan ilmu-ilmu yang tidak Islam menjalar
menjadi perdebatan akumulatif wilayah suatu bangsa seperti kelompok ilmu
“Barat” dan” Timur”.
Dikotomi
ilmu dalam studi islam terkait erat dengan pembagian kelompok ilmu Islam dalam
pengertian ilmu agama yang dilawankan dengan kelompok ilmu non-muslim atau ilmu
umum ini. Kelompok ilmu yang termasuk ilmu-ilmu Barat atau Umum atau ilmu yang
tidak Islam adalah filsafat, logika, dan kedokteran. Sedangkan lawannya, yaitu
ilmu-ilmu Islam atau agama adalah fiqih, teologi, sufisme, dan tafsir.
Dikotomi
ilmu “Barat” dan “Timur” diidentikkan dengan kecenderungan masing-masing
kelompok ilmu pada objek fisik (tubuh) dan metafisika (ruh). Barat cenderung
mengutamakan objek metafisika. Meskipun anggapan ini tidak sepenuhnya benar,
namun telah menjadi ciri umum antara Barat dan Timur.
Sebagian
orang menganggap ilmu agama sebagai ilmu yang sakral dan lebih tinggi
kedudukannya daripada ilmu umum tanpa penjelasan yang tepat. Sedangkan ilmu
umum diistilahkan dengan ilmu-ilmu profan, yaitu ilmu-ilmu keduniawian yang
bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logik. Ilmu umum berkembang
dan diidentikkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa penjelasan yang
jelas pula.[7]
C.
Penyebab
Kemunculan Dikotomi Ilmu
Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa umat Islam
pernah mencapai masa kejayaan dalam berbagai bidang kehidupan di zaman klasik.
Pada zaman ini di dunia Barat tengah berada dalam masa kegelapan. Sebagian dari
mereka belajar ilmu ‘aqliyah dari umat Islam, dan mengembangkannya di
Barat, sehingga menemukan renaissance yang selanjutnya menjadikan Barat
maju. Namun, ilmu-ilmu ‘aqliyah yang dikembangkan di Barat tidak seperti
yang berkembang di dunia Islam yang masih terintegrasi dengan ilmu-ilmu naqliyyah
(qur’aniyah). Di Barat, ilmu-ilmu tersebut terpisah dan menjadi
sekuler, bahkan terjadi penolakan validitas kebenaran.
Memasuki zaman pertengahan (1300-1700 M.), di kalangan
umat Islam terjadi disintegrasi politik dan perpecahan internal umat Islam,
sehingga mengakibatkan peradaban Islam mundur bahkan hancur. Sehingga yang semula
Islam menguasai berbagai kawasan, kini sebaliknya negara-negara Islam berada
dibawah imperialisme Barat. Mesir dijajah Perancis, India dijajah Inggris,
Indonesia dijajah Belanda, Malaysia dan Brunei dijajah Inggris. Baru pada abad
ke-20 negara-negara Islam berhasil melepaskan diri dan menjadi negara merdeka.
dalam kondisi ini, umat Islam menjadi awam terhadap ilmu-ilu ‘aqliyah atau
ilmu-ilmu umum.
Umat Islam ketika masa kemunduran pada akhirnya mulai
berkenalan lagi dengan ilmu-ilmu ‘aqliyah melalui imperialisme Barat,
sehingga dengan sendirinya mengondisikan ilmu-ilmu agama dan umum yang bukan
hanya berbeda tetapi juga terpisah bahkan bertentangan. Seolah-olah ilmu-ilmu
agama sumbernya datang dari Allah, dan sumber ilmu-ilmu umum datang dari Barat.
Padahal sebagaimana diketahui pada zaman klasik bahwa kedua sumber ilmu
tersebut berasal dari Allah.
Pada perkembangannya, di dunia Muslim terjadi dikotomi
pengetahuan secara ketat antara ilmu-ilmu agama sebagaimana dipertahankan dan
dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam di pesantren dan madrasah
pada satu pihak, dan ilmu-ilmu umum sekuler yang diprakarsai pemerintah di
pihak lain.dikotomi ilmu menjadi sangat tajam, karena sampai pada pengingkaran
terhadap validitas dan status keilmuan yang satu atas yang lain. Misalnya, di
sekolah-sekolah umum terdapat pemisahan-pemisahan yang ketat antara ilmu-ilmu
umum seperti Matematika, Fisika, dan Biologi dengan ilmu-ilmu agama seperti
Tafsir, Hadits, Fiqih, Tauhid, dan sebagainya. Seakan-akan muatan religius
hanya terdapat dalam mata pelajaran agama, sementara ilmu-ilmu umum dianggap
netral, tidak memiliki kaitan dengan agama.[8]
Persoalan
dan pengategorian kelompok ilmu umum dan agama dalam Islam umumnya muncul lebih
didorong atas kepentingan politik. Hal ini terlihat menonjol dengan kemunculan
alasan akumulasi kuantitatif wilayah; dan filsafat lebih banyak dipelajari di
negara-negara Barat dan agama dipelajari di negara-negara Timur, maka
pertentangan ini menjadi dua kelompok ilmu dengan istilah “Barat” dan “Timur”.
Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari
beberapa hal yaitu sebagai berikut:
1. Faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak
demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak
cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara
ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu
wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy
of knowledge).
2. Faktor historis perkembangan umat Islam ketika
mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800
M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra
hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada
masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga
terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau
kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban
kolektif. Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam
saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan negara lain.
3. Faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang
kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika
ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang
berpenduduk mayoritas Islam.[9]
Kemunculan
dikotomi ilmu Islam dan Ilmu umum, menurut Azyumardi Azra, bermula dari historycal
accident atau ”kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan)
yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logika mendapat serangan
yang hebat dari kaum fuqaha.
Dunia
Islam kemudian mengembangkan “ideologi ilmiah” dengan menempatkan seluruh
khazanah pemikiran Barat dan Yunani sebagai kebatilan. Jarang ilmuwan muslim
berfikiran bahwa dalam beberapa hal, dikotomi ilmu mempunyai sisi baik. Inti
dari persoalan keberatan atau tidak setuju keberadaan dikotomi ilmu semacam itu
lebih banyak berkaitan dengan persoalan politik.
Salah
satu faktor mencolok lain penyebab kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme
dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan bermasyarakat
melahirkan sikap eksklusivisme. Gerakan islam termasuk dalam kategori gerakan
eksklusif tersebut. Eksklusif dalam adari kemunculan pemikiran bahwa kebenaran
dan keselamatan hanya ada pada agamanya semata, agama orang lain semuanya salah
dan penganutnya tidak akan mendapatkan keselamatan. Agama orang lain sama sekali berbeda dan
tidak mempunyai kesamaan sedikitpun sehingga tidak perlu ada dialog karena
tidak akan mencapai titik temu. Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya dan
mengisolasi diri dari yang lain, menolak untuk berdialog dan bekerja sama dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan, dan terkadang suka mengguanakan kekerasan
dalam menyelesaikan perbedaan dengan luar agamanya.
Akibatnya,
pemikiran islam tidak berkembang dan terisolasi dari perubahan maupun
perkembangan kemajuan zaman. Sikap mengisolasi diri dalam sistem pemikiran
maupun kehidupan sosial ini ikut mempengaruhi pola ataupun sistem keilmuan
dalam islam itu sendiri. Padahal, kecenderungan menutup diri membuat suatu
disiplin imu dalam hal ini sistem keilmuan islam menjadi tidak utuh lagi,
terbentuk secara parsial dan tercerai berai yang pada akhirnya membentuk
ketidakstabilan manusia antara jasmani dan rohani.[10]
Dikotomi
yang berlangsung dalam sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari dua
faktor berikut.
1.
Lembaga
pendidikan islam yang difokuskan pada tafaqquh fiddin mengadopsi model
pendidikan islam yang telah berjalan sejak awal perkembangannya yaitu
tergantung pada otoritas keilmuan seorang guru dengan metode halaqah
yang bersifat personal. Dibandingkan dengan sistem pendidikan Barat yang telah
diadopsi di lembaga pendidikan islam, metode halaqah berlaku spesifik di
lembaga pendidikan islam.
2.
Lembaga
pendidikan islam yang menggunakan metode spesifik itu pada saat bersamaan
bersentuhan dengan sistem persekolahan yang diperkenalkan pertama kali di masa
kolonial. Ketika pemerintah kolonial memperkenalkan sistem persekolahan,
komunitas muslim pendukung sistem pendidikan Islam tidak serta merta mengadopsi
model pendidikan Barat. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu:
a.
Sistem
persekolahan sebagai model pendidikan Barat dijalankan oleh pemerintah
Kolonial, yang disamping dipandang sebagai penjajah juga berbeda agama dengan
masyarakat pendukung sistem pendidikan Islam. Penolakan tersebut tampak dari
reaksi yang diberikan terhadap Abdullah Ahmad sewaktu mwndirikan sekolah
Adabiyah yang meniru model pendidikan Barat. (Abdullah Ahmad sempat dijuluki
Belanda Hitam dan dipandang sinis).
b.
Penyelenggaraan
sistem sekolah seperti yang dilakukan Belanda menuntut keterampilan
administratif yang tidak sepenuhnya dimiliki oleh elemen pendukung sistem
pendidikan Islam. Disamping itu, berbeda dengan sistem pendidikan Barat yang
menjalankan kurikulum pengetahuan umum dan netral terhadap agama, sistem
pendidikan Islam justru diarahkan pada transfer pengetahuan dan pemikiran
keagamaan agar dapat menjadi ahli agama dan menjalankan ajaran agamanya.[11]
D.
Dampak
Permasalahan Dikotomi Ilmu
Pemisahan ilmu dalam dunia
pendidikannmenjadi ilmu umum dan ilmu agama telah membawa dampak dalam kehidupan, khususnya
dalam dunia pendidikan, yakni antara lain:
1.
Terjadi
disharmoni relasi antara pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat
kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, antara dimensi
duniawi dengan ukhrawi, dan relasi antara dimensi ketuhanan (teosentris) dengan
kemanusiaan (antroposentris).[12]
2.
Mengantar
dunia pendidikan di Indonesia menjadi suatu
pendidikan yang mandul dan menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan yang tidak bertanggungjawab
terhadap kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan.
3.
Pendidikan
agama yang terlalu memisah dari dunia ilmu-ilmu
sosial dan humaniora, telah melahirkan ahli-ahli
agama yang tidak peka terhadap kehidupan
sosial, dan gagap tehadap perkembangan dunia modern. Agama seakan terlepas dari realitas sosial. Apalagi studi Islam
yang ada selama ini cenderung menampakkan tumpang tindih yang tidak
menguntungkan baik bagi pengajar maupun yang
diajar.
4.
Pola
pikir yang serba
bipolar-dikotomis menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri, terasing dari keluarga dan masyarakat
sekelilingnya, terasing dari lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang
kehidupannya, serta terasing dari denyut nadi lingkungan sosil-budaya
sekitarnya. Yang akhirnya terjadi proses dehumanisasi secara massif baik pada
tataran kehidupan keilmuan maupun keagamaan. Anthroposentrisme
kebudayaan yang terbukti merusak secara ekologis, yang diintensifkan oleh
munculnya “humanisme sekuler” telah menjadi semakin kuat lagi dengan munculnya
ideologi “kematian Tuhan” (death of god ideology). Hal ini
menunutut perombakan terhadap kurikulum dan silabi yang selama ini digunakan di
lembaga pendidikan Islam. Kurikulum yang baru ini harus disesuaikan dengan
kondisi yang ada dengan suatu pendekatan yang integaratif.
Kondisi di atas disebabkan
adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang
tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri, yang terpisah
antara satu dan lainnya, baik dari objek formal maupun material, metode
penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status
teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Ilmu tidak
mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu.
Kaum skeptic mengklaim
agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan
tegas, padahal sains bisa melakukan hal tersebut. Agama bersikap diam-diam dan
tidak mau memberikan petunjuk bukti kongkrit tentang keberadaan Tuhan. Di pihak
lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan
“pengalaman”. Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa
memuaskan pihak yang netral. Lebih jauh mereka sering mengatakan bahwa agama
dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau keyakinan. Sedangkan sains, tidak
mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Selain itu agama terlalu
bersandar pada imajinasi liar, sedangkan sains bertumpu pada fakta yang dapat
diamati. Agama terlalu emosional dan penuh gairah, dan subjektif, sedangkan
sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif.
Dalam dunia pendidikan
pemisahan antara ilmu dan agama ini berakibat pada rendahnya mutu pendidikan
dan kemunduran dunia Islam pada umumnya. Umat Islam akan terus menglami
dehumanisasi apabila sains, dan terutama penghampiran rasional terhadap
problem-problem kemanusiaan, dipandang terpisah dari kebudayaan Islam.
Ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu
agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, yang
sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat
memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan (tertutup
untuk pencarian alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan manusia) dan
penuh bias-bias kepentingan. Untuk itulah diperlukan penyatuan epistemologi
keilmuan sebagai sarana untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang
serba kompleks dan tidak terduga pada millennium ketiga serta tanggung-jawab
kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba
terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Dualisme dikotomi
pendidikan yang masih banyak dikembangkan dalam masyarakat Islam, dengan
memisahkan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, pada hakekatnya tidak
senafas dengan hakekat ilmu pengetahuan dalam Islam. Sayyid Hosein Nasr, sebagaimana
dikutip oleh Azyumardi Azra, menyatakan bahwa studi Islam tidak hanya mencakup
“ilmu-ilmu keagamaan” saja, namun juga termasuk ilmu-ilmu kealaman, seperti
astronomi, kimia, fisika, geografi dan kosmologi. Ilmu yang demikian pernah
dikembangkan pada periode Islam klasik dan tengah yang telah terbukti
melahirkan masa ke-emasan (Golden Age). Ketika itu muncul pemikir muslim
yang berparadigma non-dikotomik dalam memandang kehidupan, misalnya Ibn Haitsam
(ahli optik), Ibnu Sina (ahli ilmu Kedokteran), Ibn Rusyd (ahli filsafat), Ibnu
Khaldun (ahli ilmu sejarah dan sosiologi), al-Jabar (ahli ilmu hitung).[13]
Imbas lain dari adanya dikotomi ilmu adalah
berpetak-petaknya orientasi dari masing-masing orang dalam mendapatkan
pendidikan, misalnya saja kaum agamawan “para pengabdi Tuhan” akan lebih
cenderung memilih pendidikan agama dan menghinakan pendidikan yang hanya
mementingkan materi semata, ajaran ini terlihat jelas pada tradisi para sufi
Islam, pendeta Hindu dan kebanyakan tokoh-tokoh agamawan. Orang yang belajar
agama di madrasah, masjid, gereja, vihara, pure dan tempat-tempat “suci”
dianggap mendapatkan pahala besar dan belajar di gedung-gedung modern dianggap
tidak mendapatkan pahala. Lebih parah lagi, para pendukung ilmu-ilmu agama
hanya menganggap valid sumber ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi
kenabian dan menolak sumber-sumber nonskriptual sebagai sumber otoritatif untuk
menjelaskan kebenaran sejati.
Kejadian sebaliknya dialami oleh para “pemuja” materi,
walaupun tidak secara terang-terangan mengatakan tidak suka belajar agama akan
tetapi dalam praktiknya mereka enggan mengikuti pembelajaran yang berorientasi
pada ilmu agama. Datangnya filsafat sekuler menjadikan renggang yang makin jauh
antara ilmu agama dan ilmu umum karena filsafat sekuler tidak hanya
kontradiktif dengan fitrah manusia, bahkan juga dapat menyebabkan ilmu
pengetahuan tercerabut dari akar-akar dan tujuan
utama kelahirannya. Akibat hal tersebut ilmuan-ilmuan sekuler hanya menganggap
valid informasi yang diperoleh melalui
pengamatan indrawi. Jika, pada konsep ini, saling kelaim kebenaran terus
terjadi maka bisa disimpulkan bahwa perdebatan panjang yang tak kunjung selesai
akan terus terjadi dan hal ini justru akan memperparah keadaan keilmuan murni
(keilmuan yang tidak berpihak pada salah satu jenis keilmuan), jenis ancaman
lain yang akan terjadi adalah saling kafir mengkafirkan dan saling tuduh
sesat-menyesatkan dalam kelompok-kelompok Islam.[14]
E.
Solusi Permasalahan Dikotomi Ilmu
Pada perkembangan terakhir menjelang Milenium ke-3, di kalangan
umat Islam muncul kesadaran untuk menintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum.
Usaha tersebut sangat jelas dilakukan oleh para cendekiawan Muslim dan oleh
pihak Departemen Agama, misalnya mengubah status madrasah menjadi sekolah umum
yang bercirikan Islam, sehingga kurikulum muatan pelajaram umumnya 100%
mengadopsi dan mengadaptasi yang diajarkan di sekolah umum. Di kalangan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) berkembang pemikiran ke arah pengintegrasian ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum, yang dimulai dengan perubahan status kelembagaan menjadi Universitas
Islam Negeri (UIN), yang didalamnya membuka jurusan-jurusan umum. Di kalangan
sekolah dan kesarjanaan tinggi umum pun terjadi pengintegrasian melalui program
pengajaran “Sains bernuansa IMTAQ”.[15]
Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman,
salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana
telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya
yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut persoalannya
adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu
untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual
bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam. Syafi’i Ma’arif mengatakan
bila konsep dulaisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang
sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari
tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi.
Solusi mengurangi atau mentiadakan dikotomi dalam pendidikan
dengan
berpedoman kepada prinsip-prinsip keseimbangan yang mendasari pendidikan Islam yaitu keseimbangan antara kehidupan
duniawi dan ukhrawi, keseimbangan antara
jasmani dan rohani serta keseimbangan antara
individu dan masyarakat.
Solusi berikutnya adalah peintegrasian ilmu, sebelumnya
marila kita melihat dalam
Al-quran kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian
pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari
segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang berbentuk dari akar katanya mempunyai arti kejelasan.Perhatikan
misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir
sumbing), ‘a’lam (gununggunung), ‘alamat
(alamat), dan sebagainya.Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda
dengan ‘arafa (mengetahui), a’rif (yang maha
mengetahui) , dan ma’rifah (pengetahuan). Sehingga wajarlah Islam sebagai agama
yang rahmat untuk seluruh alam tidak pernah
membedakan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.
Al-Faruqi menawarkan Islamisasi ilmu dalam pendidikan
Islam, yakni dengan melebur dua sistem pendidikan; tradisional dan
modern, menjadi sistem pendidikan yang
berwawasan Islam. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan
problem dikotomi sistem pendidikan yang selama ini terjadi di kalangan umat. Ide ”Islamisasi Ilmu” dalam
pendidikan Islam berisikan suatu prinsip;
bahwa keilmuan Barat tidak harus ditolak, artinya perlu diterima, tetapi harus melalui proses filterisasi
yang disejalankan dengan nafas Islami agar
tidak bertentangan dengan pesan al-Quran dan alHadits.
Peran islamisasi ilmu dalam pemecahan problem dikotomi
pendidikan islamadalah spirit yang ditawarkan al-Faruqi dalam rangka memecahkan problem dikotomi pendidikan Islam adalah
Islamisasi Ilmu dalam pendidikan Islam.
Menurut al-Faruqi, para akademikus muslim harus menguasai
semua disiplin ilmu modern, memahami disiplin tersebut dengan sempurna, dan merasakan itu sebagai perintah agama.
Setelah itu mereka harus mengintegrasikan
pengetahuan baru tersebut kedalam keutuhan
warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya
sebagai world view Islam dan menetapkan nilai-nilainya.[16]
Upaya lain dalam rangka perjumpaan sains dan agama adalah
mengembangkan ilmu agama dengan bantuan ilmu pengetahuan modern. Karena ilmu
agama adalah salah satu jenis ilmu manusia yang dapat berubah, berinteraksi,
menyusut, dan mengembang. Termasuk di dalamnya untuk menafsirkan teks-teks
agama, kita membutuhkan beragam jenis ilmu yang lain, agar pemahaman kita
terhadap ayat suci tidak stagnan. Di sinilah tampak pentingnya
mendialogkan wilayah sains dan teknologi serta wilayah kajian humaniora dan
ilmu-ilmu sosial dalam studi–studi keagamaan.[17]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Secara garis besar istilah dikotomi ilmu yang dipakai
mengerucut pada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum, yang artinya semua
eksistensi ilmu dipertentangkan dan dipisahkan antara satu dengan lainnya dalam
bingkai realitas yang terfregmentasi menjadi sub sistem yang masing-masing
berdiri sendiri. Konsekuensi dikotomi akan berimplikasi pada keterasingan
ilmu-ilmu agama terhadap kemodernan dan menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan
dari nilai-nilai agama.
2.
Awal
mula perdebatan dikotomi ilmu dalam islam dimulai dengan kemunculan penafsiran
dalam ajaran Islam bahwa Tuhan pemilik tunggal ilmu pengetahuan (Maha ‘Alim).
Ilmu pengetahuan yang diberikan pada manusia hanya merupakan bagian terkecil
dari ilmu-Nya, namun manusia diberi kebebasan untuk meraih sebanyak-banyaknya.
Keyakinan ini yang pada puncaknya melahirkan perdebatan dikotomi ilmu dalam
pemikiran islam, yaitu pertentangan dikotomi ilmu dengan istilah kelompok ilmu antroposentri
(akal/filsafat) dihadapkan dengan kelompok ilmu teosentris (kewahyuan/agama).
3. Salah satu faktor mencolok penyebab kemunculan dikotomi ilmu adalah
fanatisme dalam beragama yang melahirkan sikap eksklusivisme. Gerakan islam
termasuk dalam kategori gerakan eksklusif tersebut. Mereka hanya bergaul dengan
kelompoknya dan mengisolasi diri dari yang lain. Akibatnya, pemikiran islam
tidak berkembang dan terisolasi dari perubahan maupun perkembangan kemajuan
zaman. Padahal, kecenderungan menutup diri membuat suatu disiplin imu dalam hal
ini sistem keilmuan islam menjadi tidak utuh lagi, terbentuk secara parsial dan
tercerai berai yang pada akhirnya membentuk ketidakstabilan manusia antara
jasmani dan rohani.
4. Dampak yang dihasilkan akibat dikotomi ilmu yakni terjadi
disharmoni relasi antara pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat
kauniyah, mengantar dunia pendidikan di Indonesia menjadi suatu
pendidikan yang mandul dan menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan yang tidak bertanggungjawab
terhadap kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan, melahirkan ahli-ahli agama
yang tidak peka terhadap kehidupan sosial,
dan gagap tehadap perkembangan dunia modern, serta dampak lainnya.
5. Solusi yang dapat ditawarkan untuk permasalahan dikotomi ilmu
antara lain menerima
pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia
Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya yakni mengisinya dengan konsep-konsep
kunci tertentu dari Islam, melakukan modernisasi pendidikan Islam dan peintegrasian
ilmu, dan solusi lainnya.
B.
Saran
Pemakalah menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan,maka dari itu
pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya
kesempurnaan isi dari makalah ini. Atas kritik dan saran yang Anda berikan,
kami mengucapkan Terima kasih. Semoga makalah ini bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Djamas,
Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
Rachman
Assegaf, Abd., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Supiana, Metodologi
Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017.
Ungguh
Muliawan, Jasa, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali
Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Jurnal:
Asyari,
Akhmad & Rusni Bil Makruf, “Dikotomi Pendidikan Islam: Akar Historis dan
Dikotomisasi Ilmu”, El-Hikmah, 8: 2, Desember 2014.
Hafidz,
“Epistimologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi Keilmuan Pesantren”, FENOMENA,
14: 2, Oktober 2015.
Hasan
Bisyri, M., “Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan”, Forum
Tarbiyah, 7: 2, Desember 2009.
Wahid, Abdul,
“Dikotomi Ilmu Pengetahuan”, ISTIQRA’, 1: 2, Maret 2014.
[1] Akhmad Asyari dan Rusni Bil Makruf, “Dikotomi Pendidikan Islam: Akar
Historis dan Dikotomisasi Ilmu”, El-Hikmah, 8: 2, (Desember 2014), h.
1-2.
[2] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya
Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), h. 1.
[3] Hafidz, “Epistimologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi Keilmuan
Pesantren”, FENOMENA, 14: 2, (Oktober 2015), h. 238-239.
[4] Akhmad Asyari dan Rusni Bil Makruf, “Dikotomi Pendidikan Islam..., h.
4-6.
[5] Abdul Wahid, “Dikotomi Ilmu Pengetahuan”, ISTIQRA’, 1: 2,
(Maret 2014), h. 278-279.
[6] Supiana, Metodologi Studi Islam, (Bnadung: Remaja Rosdakarya,
2017), h. 36-39.
[7] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya
Mengintegrasikan..., h. 203-206.
[8] Supiana, Metodologi Studi Islam..., h. 39-40.
[9] Hafidz, “Epistimologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi..., h.
240-241.
[10] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya
Mengintegrasikan..., h.206-207.
[11] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia
Pascakemerdekaan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 207-208.
[12] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 22.
[13] M. Hasan Bisyri, “Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan”, Forum
Tarbiyay, 7: 2, (Desember 2009), h. 181-183.
[14] Akhmad Asyari dan Rusni Bil Makruf, “Dikotomi Pendidikan Islam..., h.
2-3.
[15] Supiana, Metodologi Studi Islam..., h. 40-41.
[16] Hafidz, “Epistimologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi..., h.
241-243.
[17] M. Hasan Bisyri, “Mengakhiri Dikotomi Ilmu..., h. 189.
Komentar
Posting Komentar