MAKALAH KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN ISLAM (DIKOTOMI ILMU DAN PERMASALAHANNYA)

DIKOTOMI ILMU DAN PERMASALAHANNYA

 

Description: LOGO_IAIM_BARU%281%29.PNG

 

MAKALAH

 

Dipresentasikan dalam forum seminar kelas untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam

 

OLEH:

KELOMPOK VIII

BASO SALAHUDDIN (180101053)

ZALDA WULANDARI (180101048)

NURATIKA B. LUKMAN (180101051)

 

 

 

Dosen Pengampuh:

R. Nurhayati, S.Pd.I.,M.Pd.I.

 

 

 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

IAI MUHAMMADIYAH SINJAI

T.A. 2019/2020

 

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Dikotomi Ilmu dan Permasalahannya. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam.

Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan. Terima kasih.

 

Sinjai, 22 Februari 2020

   KELOMPOK VIII

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR ....................................................................................  ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................  iii

 

BAB I  PENDAHULUAN .............................................................................  1

A.      Latar Belakang ................................................................................  1

B.       Rumusan Masalah ...........................................................................  2

C.       Tujuan Penulisan .............................................................................  2

 

BAB II  PEMBAHASAN ..............................................................................  3

A.      Pengertian Dikotomi Ilmu................................................................ 3

B.       Pokok-Pokok Masalah Dikotomi Ilmu............................................. 7

C.       Penyebab Kemunculan Dikotomi Ilmu............................................ 9

D.      Dampak Terjadinya Dikotomi Ilmu................................................. 11

E.       Solusi Permasalahan Dikotomi Ilmu ............................................... 17

 

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 20

A.      Kesimpulan ..................................................................................... 20

B.       Saran ............................................................................................... 21

 

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.  Latar Belakang

Pendidikan di era modern mengalami perkembangan yang sangat pesat, hal ini dikarenakan oleh arus globalisasi yang semakin lama semakin tidak terbendung, mau tidak mau, suka tidak suka, arus globalisasi itu tetap datang. Tidak mungkin lagi bertahan hanya dengan tradisi lama, akan tetapi menjadi sangat perlu untuk menyesuaikan diri dengan peradaban yang baru juga.

Belakangan pendidikan mengalami pasang surut. Ada kalanya pendidikan lebih mengarah pada cara manusia untuk mendapatkan materi sebanyak mungkin sehingga menjadikan pendidikan umum sangat popular dan sebaliknya yang terjadi pada pendidikan yang berbau akhirat menjadi termarjinalkan. Adakalanya berbanding terbalik, pendidikan agama menjadi sangat banyak diminati para pelajar dan pendidikan umum sedikit diabaikan. Maka jarang sekali keduanya bisa berimbang sehingga menambah lebar perseteruan pada wacana dikotomi pendidikan Islam dan hal inilah yang terjadi pada pendidikan Islam. Dalam islam, tidak ada istilah pendikotomian ilmu, yang ada hanyalah pengkalisifikasian ilmu. Namun, pada praktiknya, pengklasifikasian ilmu salah diartikan oleh banyak kalangan masyarakat muslim itu sendiri.[1]

Dalam dataran konsep ideal, menurut penafsiran sebagian cendekiawan, islam diyakini sebagai ajaran yang memuat semua sistem pengetahuan, tidak ada dikotomi dalam sistem keilmuan islam. Namun, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Akibatnya, selama beberapa dekade persoalan dikotomi ilmu yang dihadapi dunia islam tak pernah berhenti dan selalu dihadapkan pada pembedaan antara apa yang disebut ilmu Islam dan non Islam, ilmu Barat dan ilmu Timur.[2]

 

B.  Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas pada makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.    Apa yang dimaksud dengan dikotomi Ilmu?

2.    Bagaimana pokok-pokok permasalahan dikotomi ilmu?

3.    Faktor-faktor apakah yang menyebabkan munculnya dikotomi ilmu?

4.    Apa dampak yang ditimbulkan akibat dikotomi ilmu?

5.    Bagaiaman solusi yang ditawarkan untuk permasalahan dikotomi ilmu?

 

C.  Tujuan Penulisan

Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah “Kapita Selekta Pendidikan Islam”, makalah ini juga dibuat untuk mengetahui dan memahami tentang:

1.    Pengertian dikotomi ilmu

2.    Pokok-pokok masalah dikotomi ilmu dalam islam

3.    Faktor yang menyebabkan munculnya dikotomi ilmu

4.    Dampak yang ditimbulkan akibat dikotomi ilmu

5.    Solusi permasalahan dikotomi ilmu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Pengertian Dikotomi Ilmu

Secara leksikal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikotomi mempunyai pengertian sebagai pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan. Dua kelompok yang dimaksudkan tentu saja diperuntukkan bukan hanya pada dunia pendidikan akan tetapi mencakup semua hal yang bertentangan. Dengan demikian, segala hal yang membagi sesuatu menjadi dua kelompok yang bebeda bahkan saling bertentangan antara kelompok tersebut adalah dikotomi. Berarti, pengertian dikotomi ilmu adalah membedakan, memisahkan ilmu menjadi dua kelompok atau dua bagian yang saling berbeda dan bertentangan.

Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Adajuga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality) Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan  dikotomi diatas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kaffah (menyeluruh).[3]

Adapun menurut para ahli, istilah dikotomi diartikan berbeda-beda, diantaranya:

a.       Dalam kamus ilmiah popular sebagaimana yang diutarakan oleh Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry mengartikan dikotomi sebagai pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan.

b.      Mujammil Qomar mengartikan dikotomi sebagai pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan. Dalam pernyataan ini Muzammil Qomar membedakan pertentangannya pada tataran konsep saja.

c.       Jamaladdin Idris seperti yang dikutip oleh Yuldelasharmi mengartikan dikotomi sebagai pemisahan secara teliti dan jelas dari suatu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat  dimasukkan ke dalam yang satunya lagi dan sebaliknya.

d.      Istilah lain dari dikotomi ilmu yang lebih menukik pada akar ilmu adalah pandangan dari A. Malik Fadjar yang mengistilahkan dikotomi dengan hellenis untuk ilmu umum atau ilmu modern dan semitis untuk ilmu agama. Gagasan hellenis berasal dari Yunani klasik yang ciri menonjolnya memberikan porsi yang amat besar kepada otoritas akal, mengutamakan sikap rasional serta lebih menyukai ilmu-ilmu sekuler. Sedangkan gagasan semitis mewarnai alam pikiran kaum agamawan, terutama agama Yahudi dan Nasrani yang mendahului Islam, dengan ciri memberikan porsi yang amat besar kepada otoritas wahyu, sikap patuh terhadap dogma serta berorientasi kepada ilmu-ilmu keagamaan.

e.       Istilah lain yang diungkap oleh Harun Nasution dalam buku Islam Rasional, bahwa ia menyebut sikap yang memisahkan terhadap ilmu dengan istilah dualisme ilmu. Dalam dualisme, unsur-unsur yang paling mendasar dari setiap realitas cenderung dipertentangkan namun tidak saling menafikan antara keduanya, misalnya dalam ilmu teologi sebagaimana bidang keilmuan Harun Nasution mencontohkan kejahatan dan kebaikan, Tuhan dan alam semesta, ruhani dan jasmani, jiwa dan badan, dan lainnya.

Dari banyaknya istilah yang dipakai dalam dikotomi pendidikan Islam maka secara garis besar semua istilah yang dipakai mengerucut pada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum, yang artinya semua eksistensi ilmu dipertentangkan dan dipisahkan antara satu dengan lainnya dalam bingkai realitas yang terfregmentasi menjadi sub sistem yang masing-masing berdiri sendiri. Konsekuensi dikotomi sebagaiamana yang disebutkan seperti istilah di atas akan berimplikasi pada keterasingan ilmu-ilmu agama terhadap kemodernan dan menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai agama. Jika istilah dikotomi ilmu itu hanya sekedar membedakan dengan tujuan pengklasifikasian ilmu menjadi ilmu agama dan ilmu non agama, maka dikotomi menjadi hal yang biasa saja (bisa bernilai positif). Akan tetapi, jika dikotomi ilmu pengetahuan dengan mendeskriminasi salah satu ilmu pengetahuan, maka ini akan berdampak buruk bagi masing-masing ilmu pengetahuan.[4]

Dikotomi adalah pembagian dua kelompok yang saling bertentangan. Dalam implikasinya, disebutkan sebagai ilmu umum dan ilmu Islam, pendidikan umum dan pendidikan Islam, guru pendidikan umum dan guru pendidikan Islam, sekolah umum dan sekolah agama Dengan dengan demikian, dikotomi ilmu yang dimaksud di sini adalah pembagian dua kelompok ilmu pengetahuan, secara lahiriah kelihatan bertentangan, yang diklaim bahwa ilmu agama berasal dari Islam, sementara ilmu umum diklaim berasal dari Barat.

Karena terlanjur ada pendikotomian ilmu yang dilakukan oleh sebagian pakar pendidikan, maka pada gilirannya pula melahirkan istilah lain yang disebut dengan “dualisme pendidikan”, yakni pendidikan agama dan pendidikan umum. Istilah dualisme diartikan sebagai dua paham atau pemahaman yang berkembang dan dianut dalam suatu komunitas. Pemahaman itu mungkin tampak sejalan dan mungkin kontradiksi. Jika kemungkinan yang terakhir disebut (kontradiksi) yang timbul lalu ditarik benang merah, maka ia semakna dengan dikotomi secara lahiriah.

Kembali kepada istilah dualisme, secara semantik term ini berarti dua macam pengetahuan atau dua macam pandangan, yaitu:

1.    Pengetahuan (ilmu) yang rasional pemerolehannya (epistemologi-nya) melalui akal.

2.    Pengetahuan (ilmu) non rasional pemerolehannya melalui wahyu. 

Kaitannya dengan pendidikan, ilmu rasional itu disebut ilmu umum yang kemudian melahirkan sekolah umum. Ilmu non rasional disebut ilmu agama yang kemudian melahirkan bidang-bidang studi agama pemisahana di antara keduanya.[5]

Berkaitan dengan dikotomi ilmu, Mulyadi Kartanegara berpendapat bahwa dikotomi diartikan sebagai penggolongan atau pemilahan, bukan pemisahan atau pertentangan, apalagi samapai berimplikasi pada adanya sikap kalau ilmu agama urusan akhirat dan ilmu umum urusan dunia, ini jelas keliru. Karena dalam Islam urusan apapun di dunia memiliki kaitan dengan urusan akhirat kelak. Menurutnya, dikotomi ilmu kedalam ilmu agama dan non-agama sudah menjadi tradisi Islam semenjak zaman klasik.pemilahan antara ilmu-ilmu agama dan umum sebenarnya telah diperkenalkan oleh para cendekiawan seperti Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun. Tetapi, kedua tokoh ini menggunakan konsep ilmu yang integral dan menenukan dasar yang dapat menyatukan keduanya. Dikotomi yang mereka lakukan hanya penjenisan bukan pemisahan, apalagi penolakan validitas dari jenis ilmu yang satu dengan yang lainnya. Karenanya, tidak terjadi dualisme sistem pendidikan, baik madrasah maupun universitas, kurikulumnya terintegrasi meliputi ilmu agama dan ilmu umum.

Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum Al-Din menyebutkan dua jenis ilmu tersebut bernama ilmu syar’iyah yang diidentikkan dengan ilmu agama dan hukumnya fardu ‘ain serta ilmu ghair syar’iyah yang diidentikkan dengan ilmu umum dan hukumnya fardu kifayah tapi jika ilmu itu dipelajari terutma seperti ilmu logika dan matematika, hendaknya dipelajari dengan seksama. Demikian juga Ibnu Khaldun, membagi ilmu dalam 2 jenis. Pertama, ilmu naqliyyah yakni ilmu yang berdasarkan otoritas (Al-Qur’an dan Hadits), contohnya Ilmu Kalam dan Tasawuf. Kedua, ilmu aqliyyah yakni ilmu berdasar akal atau dalil rasional seperti Filsafat, Matematika, dan Fisika.[6]

 

B.  Pokok-Pokok Masalah Dikotomi Ilmu dalam Islam

Pertanyaan klasik yang selalu menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu adalah ; pengetahuan manusia itu “bawaan” (inborn) atau bentukan (acquired)? Pertanyaan ini memiliki rangka bangun karakter sejenis dalam perdebatan umum pencarian ilmu pengetahuan tentang asal mula kehidupan. Apakah kehidupan dimulai dari benda mati (abiogenesis) atau makhluk hidup (biogenesis)? Pertanyaan sejenis bipolaritas kutub berlawanan ini pula yang menjadi ciri utama gejala semesta “ada”.

Pada sisi lain, awal mula perdebatan dikotomi ilmu dalam islam dimulai dengan kemunculan penafsiran dalam ajaran Islam bahwa Tuhan pemilik tunggal ilmu pengetahuan (Maha ‘Alim). Ilmu pengetahuan yang diberikan pada manusia hanya merupakan bagian terkecil dari ilmu-Nya, namun manusia diberi kebebasan untuk meraih sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, sangatlah tidak pantas jika ada manusia yang bersikap sombong dalam masalah ilmu atau memiliki kecongkakan intelektual. Keyakinan ini yang pada puncaknya melahirkan perdebatan dikotomi ilmu dalam pemikiran islam, yaitu pertentangan dikotomi ilmu dengan istilah kelompok ilmu “antroposentris” duhadapkan dengan kelompok ilmu “teosentris”.

Berdasarkan ilmu argumen epistemologi, ilmu pengetahuan antroposentris dinyatakan bersumber dari manusia dengan ciri khas akal atau rasio sedangkan ilmu pengetahuan teosentris dinyatakan bersumber dari Tuhan dengan ciri khas “kewahyuan”. Maka terbentuklah pertentangan antara dua jenis ilmu, yaitu agama dan filsafat. Agama yang menekankan pada pengetahuan kewahyuan dipertentangkan dengan filsafat yang menekankan pada akal manusia.

Filsafat yang tidak lain adalah akar ilmu pengetahuan dikategorikan dalam kelompok ilmu umum. Agama meskipun kadang-kadang tidak diteruskan atau digandengkan dengan kata Islam, maka yang dimaksud ialah agama Islam. Hal ini dapat saja khususnya di Indonesia karena ajaran agama Islam dianut oleh penduduk secara mayoritas.

Kemudian agama dikelompukkan kedalam ilmu islam. Dengan alasan akumulasi kuantitatif wilayah, dimana filsafat lebih banyak dipelajari di negara-negara Barat dan agama dipelajari dinegara-negara Timur, pertentangan ini menjadi pertentangan dua kelompok ilmu dengan istilah “Barat dan Timur”. Disamping itu, filsafat yang cenderung mempelajari ilmu-ilmu keduniawian kemudian di “kecam” sebagai ilmu seluler karena tergolong ilmu yang mempelajari benda-benda yang tidak dianggap sakral dan jauh dari muatan keagamaan.

Perdebatan dikotomi ilmu ini tidak terbatas pada kajian tersebut, tetapi meluas dan mendalam terlebih dipicu oleh fanatisme agama. Akibatnya seringkali perdebatan dikotomi ilmu berakibat pada pengelompokan-pengelompokan ilmu yang terpisah-pisah dan menjalar keberbagai aspek kehidupan. Seperti halnya pengelompokkan ilmu-ilmu yang Islam dengan ilmu-ilmu yang tidak Islam menjalar menjadi perdebatan akumulatif wilayah suatu bangsa seperti kelompok ilmu “Barat” dan” Timur”.

Dikotomi ilmu dalam studi islam terkait erat dengan pembagian kelompok ilmu Islam dalam pengertian ilmu agama yang dilawankan dengan kelompok ilmu non-muslim atau ilmu umum ini. Kelompok ilmu yang termasuk ilmu-ilmu Barat atau Umum atau ilmu yang tidak Islam adalah filsafat, logika, dan kedokteran. Sedangkan lawannya, yaitu ilmu-ilmu Islam atau agama adalah fiqih, teologi, sufisme, dan tafsir.

Dikotomi ilmu “Barat” dan “Timur” diidentikkan dengan kecenderungan masing-masing kelompok ilmu pada objek fisik (tubuh) dan metafisika (ruh). Barat cenderung mengutamakan objek metafisika. Meskipun anggapan ini tidak sepenuhnya benar, namun telah menjadi ciri umum antara Barat dan Timur.

Sebagian orang menganggap ilmu agama sebagai ilmu yang sakral dan lebih tinggi kedudukannya daripada ilmu umum tanpa penjelasan yang tepat. Sedangkan ilmu umum diistilahkan dengan ilmu-ilmu profan, yaitu ilmu-ilmu keduniawian yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logik. Ilmu umum berkembang dan diidentikkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa penjelasan yang jelas pula.[7]

 

C.  Penyebab Kemunculan Dikotomi Ilmu

Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai masa kejayaan dalam berbagai bidang kehidupan di zaman klasik. Pada zaman ini di dunia Barat tengah berada dalam masa kegelapan. Sebagian dari mereka belajar ilmu ‘aqliyah dari umat Islam, dan mengembangkannya di Barat, sehingga menemukan renaissance yang selanjutnya menjadikan Barat maju. Namun, ilmu-ilmu ‘aqliyah yang dikembangkan di Barat tidak seperti yang berkembang di dunia Islam yang masih terintegrasi dengan ilmu-ilmu naqliyyah (qur’aniyah). Di Barat, ilmu-ilmu tersebut terpisah dan menjadi sekuler, bahkan terjadi penolakan validitas kebenaran.

Memasuki zaman pertengahan (1300-1700 M.), di kalangan umat Islam terjadi disintegrasi politik dan perpecahan internal umat Islam, sehingga mengakibatkan peradaban Islam mundur bahkan hancur. Sehingga yang semula Islam menguasai berbagai kawasan, kini sebaliknya negara-negara Islam berada dibawah imperialisme Barat. Mesir dijajah Perancis, India dijajah Inggris, Indonesia dijajah Belanda, Malaysia dan Brunei dijajah Inggris. Baru pada abad ke-20 negara-negara Islam berhasil melepaskan diri dan menjadi negara merdeka. dalam kondisi ini, umat Islam menjadi awam terhadap ilmu-ilu ‘aqliyah atau ilmu-ilmu umum.

Umat Islam ketika masa kemunduran pada akhirnya mulai berkenalan lagi dengan ilmu-ilmu ‘aqliyah melalui imperialisme Barat, sehingga dengan sendirinya mengondisikan ilmu-ilmu agama dan umum yang bukan hanya berbeda tetapi juga terpisah bahkan bertentangan. Seolah-olah ilmu-ilmu agama sumbernya datang dari Allah, dan sumber ilmu-ilmu umum datang dari Barat. Padahal sebagaimana diketahui pada zaman klasik bahwa kedua sumber ilmu tersebut berasal dari Allah.

Pada perkembangannya, di dunia Muslim terjadi dikotomi pengetahuan secara ketat antara ilmu-ilmu agama sebagaimana dipertahankan dan dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam di pesantren dan madrasah pada satu pihak, dan ilmu-ilmu umum sekuler yang diprakarsai pemerintah di pihak lain.dikotomi ilmu menjadi sangat tajam, karena sampai pada pengingkaran terhadap validitas dan status keilmuan yang satu atas yang lain. Misalnya, di sekolah-sekolah umum terdapat pemisahan-pemisahan yang ketat antara ilmu-ilmu umum seperti Matematika, Fisika, dan Biologi dengan ilmu-ilmu agama seperti Tafsir, Hadits, Fiqih, Tauhid, dan sebagainya. Seakan-akan muatan religius hanya terdapat dalam mata pelajaran agama, sementara ilmu-ilmu umum dianggap netral, tidak memiliki kaitan dengan agama.[8]

Persoalan dan pengategorian kelompok ilmu umum dan agama dalam Islam umumnya muncul lebih didorong atas kepentingan politik. Hal ini terlihat menonjol dengan kemunculan alasan akumulasi kuantitatif wilayah; dan filsafat lebih banyak dipelajari di negara-negara Barat dan agama dipelajari di negara-negara Timur, maka pertentangan ini menjadi dua kelompok ilmu dengan istilah “Barat” dan “Timur”.

Dikotomi dalam pendidikan Islam timbul akibat dari beberapa hal yaitu sebagai berikut: 

1.    Faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu wilayah kajian filsafat yang disebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge). 

2.    Faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini atau meminjam istilah Azra hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan negara lain.

3.    Faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam.[9]

Kemunculan dikotomi ilmu Islam dan Ilmu umum, menurut Azyumardi Azra, bermula dari historycal accident atau ”kecelakaan sejarah”, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.

Dunia Islam kemudian mengembangkan “ideologi ilmiah” dengan menempatkan seluruh khazanah pemikiran Barat dan Yunani sebagai kebatilan. Jarang ilmuwan muslim berfikiran bahwa dalam beberapa hal, dikotomi ilmu mempunyai sisi baik. Inti dari persoalan keberatan atau tidak setuju keberadaan dikotomi ilmu semacam itu lebih banyak berkaitan dengan persoalan politik.

Salah satu faktor mencolok lain penyebab kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam kehidupan bermasyarakat melahirkan sikap eksklusivisme. Gerakan islam termasuk dalam kategori gerakan eksklusif tersebut. Eksklusif dalam adari kemunculan pemikiran bahwa kebenaran dan keselamatan hanya ada pada agamanya semata, agama orang lain semuanya salah dan penganutnya tidak akan mendapatkan keselamatan.  Agama orang lain sama sekali berbeda dan tidak mempunyai kesamaan sedikitpun sehingga tidak perlu ada dialog karena tidak akan mencapai titik temu. Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya dan mengisolasi diri dari yang lain, menolak untuk berdialog dan bekerja sama dalam memecahkan permasalahan-permasalahan, dan terkadang suka mengguanakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan dengan luar agamanya.

Akibatnya, pemikiran islam tidak berkembang dan terisolasi dari perubahan maupun perkembangan kemajuan zaman. Sikap mengisolasi diri dalam sistem pemikiran maupun kehidupan sosial ini ikut mempengaruhi pola ataupun sistem keilmuan dalam islam itu sendiri. Padahal, kecenderungan menutup diri membuat suatu disiplin imu dalam hal ini sistem keilmuan islam menjadi tidak utuh lagi, terbentuk secara parsial dan tercerai berai yang pada akhirnya membentuk ketidakstabilan manusia antara jasmani dan rohani.[10]

Dikotomi yang berlangsung dalam sistem pendidikan nasional tidak terlepas dari dua faktor berikut.

1.    Lembaga pendidikan islam yang difokuskan pada tafaqquh fiddin mengadopsi model pendidikan islam yang telah berjalan sejak awal perkembangannya yaitu tergantung pada otoritas keilmuan seorang guru dengan metode halaqah yang bersifat personal. Dibandingkan dengan sistem pendidikan Barat yang telah diadopsi di lembaga pendidikan islam, metode halaqah berlaku spesifik di lembaga pendidikan islam.

2.    Lembaga pendidikan islam yang menggunakan metode spesifik itu pada saat bersamaan bersentuhan dengan sistem persekolahan yang diperkenalkan pertama kali di masa kolonial. Ketika pemerintah kolonial memperkenalkan sistem persekolahan, komunitas muslim pendukung sistem pendidikan Islam tidak serta merta mengadopsi model pendidikan Barat. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu:

a.    Sistem persekolahan sebagai model pendidikan Barat dijalankan oleh pemerintah Kolonial, yang disamping dipandang sebagai penjajah juga berbeda agama dengan masyarakat pendukung sistem pendidikan Islam. Penolakan tersebut tampak dari reaksi yang diberikan terhadap Abdullah Ahmad sewaktu mwndirikan sekolah Adabiyah yang meniru model pendidikan Barat. (Abdullah Ahmad sempat dijuluki Belanda Hitam dan dipandang sinis).

b.    Penyelenggaraan sistem sekolah seperti yang dilakukan Belanda menuntut keterampilan administratif yang tidak sepenuhnya dimiliki oleh elemen pendukung sistem pendidikan Islam. Disamping itu, berbeda dengan sistem pendidikan Barat yang menjalankan kurikulum pengetahuan umum dan netral terhadap agama, sistem pendidikan Islam justru diarahkan pada transfer pengetahuan dan pemikiran keagamaan agar dapat menjadi ahli agama dan menjalankan ajaran agamanya.[11]

 

D.  Dampak Permasalahan Dikotomi Ilmu

Pemisahan ilmu dalam dunia pendidikannmenjadi ilmu umum dan ilmu agama telah membawa dampak dalam kehidupan, khususnya dalam dunia pendidikan, yakni antara lain:

1.    Terjadi disharmoni relasi antara pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, antara dimensi duniawi dengan ukhrawi, dan relasi antara dimensi ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris).[12]

2.    Mengantar dunia pendidikan di Indonesia menjadi suatu pendidikan yang mandul dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang tidak bertanggungjawab terhadap kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan.

3.    Pendidikan agama yang terlalu memisah dari dunia ilmu-ilmu sosial dan humaniora, telah melahirkan ahli-ahli agama yang tidak peka terhadap kehidupan sosial, dan gagap tehadap perkembangan dunia modern. Agama seakan terlepas dari realitas sosial. Apalagi studi Islam yang ada selama ini cenderung menampakkan tumpang tindih yang tidak menguntungkan baik bagi pengajar maupun yang diajar.

4.    Pola pikir yang serba bipolar-dikotomis menjadikan manusia terasing dari dirinya sendiri, terasing dari keluarga dan masyarakat sekelilingnya, terasing dari lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang kehidupannya, serta terasing dari denyut nadi lingkungan sosil-budaya sekitarnya. Yang akhirnya terjadi proses dehumanisasi secara massif baik pada tataran kehidupan keilmuan maupun keagamaan. Anthroposentrisme kebudayaan yang terbukti merusak secara ekologis, yang diintensifkan oleh munculnya “humanisme sekuler” telah menjadi semakin kuat lagi dengan munculnya ideologi “kematian Tuhan” (death of god ideology). Hal ini menunutut perombakan terhadap kurikulum dan silabi yang selama ini digunakan di lembaga pendidikan Islam. Kurikulum yang baru ini harus disesuaikan dengan kondisi yang ada dengan suatu pendekatan yang integaratif.

Kondisi di atas disebabkan adanya keyakinan dalam masyarakat bahwa agama dan ilmu adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri, yang terpisah antara satu dan lainnya, baik dari objek formal maupun material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi penyelenggaranya. Ilmu tidak mempedulikan agama dan agama tidak mempedulikan ilmu.

Kaum skeptic mengklaim agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains bisa melakukan hal tersebut. Agama bersikap diam-diam dan tidak mau memberikan petunjuk bukti kongkrit tentang keberadaan Tuhan. Di pihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan “pengalaman”. Agama tidak bisa melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral. Lebih jauh mereka sering mengatakan bahwa agama dilandaskan pada asumsi-asumsi apriori atau keyakinan. Sedangkan sains, tidak mau menerima begitu saja segala sesuatu sebagai benar. Selain itu agama terlalu bersandar pada imajinasi liar, sedangkan sains bertumpu pada fakta yang dapat diamati. Agama terlalu emosional dan penuh gairah, dan subjektif, sedangkan sains berusaha untuk tidak memihak, tidak terlalu bergairah, dan objektif.

Dalam dunia pendidikan pemisahan antara ilmu dan agama ini berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya. Umat Islam akan terus menglami dehumanisasi apabila sains, dan terutama penghampiran rasional terhadap problem-problem kemanusiaan, dipandang terpisah dari kebudayaan Islam. Ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, yang sekarang ini berjalan, sedang terjangkit krisis relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan), mengalami kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif yang lebih mensejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan. Untuk itulah diperlukan penyatuan epistemologi keilmuan sebagai sarana untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada millennium ketiga serta tanggung-jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.

Dualisme dikotomi pendidikan yang masih banyak dikembangkan dalam masyarakat Islam, dengan memisahkan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, pada hakekatnya tidak senafas dengan hakekat ilmu pengetahuan dalam Islam. Sayyid Hosein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, menyatakan bahwa studi Islam tidak hanya mencakup “ilmu-ilmu keagamaan” saja, namun juga termasuk ilmu-ilmu kealaman, seperti astronomi, kimia, fisika, geografi dan kosmologi. Ilmu yang demikian pernah dikembangkan pada periode Islam klasik dan tengah yang telah terbukti melahirkan masa ke-emasan (Golden Age). Ketika itu muncul pemikir muslim yang berparadigma non-dikotomik dalam memandang kehidupan, misalnya Ibn Haitsam (ahli optik), Ibnu Sina (ahli ilmu Kedokteran), Ibn Rusyd (ahli filsafat), Ibnu Khaldun (ahli ilmu sejarah dan sosiologi), al-Jabar (ahli ilmu hitung).[13]

Imbas lain dari adanya dikotomi ilmu adalah berpetak-petaknya orientasi dari masing-masing orang dalam mendapatkan pendidikan, misalnya saja kaum agamawan “para pengabdi Tuhan” akan lebih cenderung memilih pendidikan agama dan menghinakan pendidikan yang hanya mementingkan materi semata, ajaran ini terlihat jelas pada tradisi para sufi Islam, pendeta Hindu dan kebanyakan tokoh-tokoh agamawan. Orang yang belajar agama di madrasah, masjid, gereja, vihara, pure dan tempat-tempat “suci” dianggap mendapatkan pahala besar dan belajar di gedung-gedung modern dianggap tidak mendapatkan pahala. Lebih parah lagi, para pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber ilahi dalam bentuk kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber nonskriptual sebagai sumber otoritatif untuk menjelaskan kebenaran sejati.

Kejadian sebaliknya dialami oleh para “pemuja” materi, walaupun tidak secara terang-terangan mengatakan tidak suka belajar agama akan tetapi dalam praktiknya mereka enggan mengikuti pembelajaran yang berorientasi pada ilmu agama. Datangnya filsafat sekuler menjadikan renggang yang makin jauh antara ilmu agama dan ilmu umum karena filsafat sekuler tidak hanya kontradiktif dengan fitrah manusia, bahkan juga dapat menyebabkan ilmu pengetahuan tercerabut dari akar-akar dan  tujuan utama kelahirannya. Akibat hal tersebut ilmuan-ilmuan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui pengamatan indrawi. Jika, pada konsep ini, saling kelaim kebenaran terus terjadi maka bisa disimpulkan bahwa perdebatan panjang yang tak kunjung selesai akan terus terjadi dan hal ini justru akan memperparah keadaan keilmuan murni (keilmuan yang tidak berpihak pada salah satu jenis keilmuan), jenis ancaman lain yang akan terjadi adalah saling kafir mengkafirkan dan saling tuduh sesat-menyesatkan dalam kelompok-kelompok Islam.[14] 

 

 

 

E.  Solusi Permasalahan Dikotomi Ilmu

Pada perkembangan terakhir menjelang Milenium ke-3, di kalangan umat Islam muncul kesadaran untuk menintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum. Usaha tersebut sangat jelas dilakukan oleh para cendekiawan Muslim dan oleh pihak Departemen Agama, misalnya mengubah status madrasah menjadi sekolah umum yang bercirikan Islam, sehingga kurikulum muatan pelajaram umumnya 100% mengadopsi dan mengadaptasi yang diajarkan di sekolah umum. Di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) berkembang pemikiran ke arah pengintegrasian ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, yang dimulai dengan perubahan status kelembagaan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), yang didalamnya membuka jurusan-jurusan umum. Di kalangan sekolah dan kesarjanaan tinggi umum pun terjadi pengintegrasian melalui program pengajaran “Sains bernuansa IMTAQ”.[15]

Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam. Syafi’i Ma’arif mengatakan bila konsep dulaisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi.

Solusi mengurangi atau mentiadakan dikotomi dalam pendidikan  dengan berpedoman kepada prinsip-prinsip keseimbangan yang mendasari pendidikan Islam yaitu keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, keseimbangan antara jasmani dan rohani serta keseimbangan antara individu dan masyarakat.

Solusi berikutnya adalah peintegrasian ilmu, sebelumnya marila kita  melihat dalam Al-quran kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang berbentuk dari akar katanya mempunyai arti kejelasan.Perhatikan misalnya kata ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gununggunung), ‘alamat (alamat), dan sebagainya.Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini berbeda dengan ‘arafa (mengetahui), a’rif (yang maha mengetahui) , dan ma’rifah (pengetahuan). Sehingga wajarlah Islam sebagai agama yang rahmat untuk seluruh alam tidak pernah membedakan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.

Al-Faruqi menawarkan Islamisasi ilmu dalam pendidikan Islam, yakni dengan melebur dua sistem pendidikan; tradisional dan modern, menjadi sistem pendidikan yang berwawasan Islam. Ini dimaksudkan untuk menghilangkan problem dikotomi sistem pendidikan yang selama ini terjadi di kalangan umat. Ide ”Islamisasi Ilmu” dalam pendidikan Islam berisikan suatu prinsip; bahwa keilmuan Barat tidak harus ditolak, artinya perlu diterima, tetapi harus melalui proses filterisasi yang disejalankan dengan nafas Islami agar tidak bertentangan dengan pesan al-Quran dan alHadits.

Peran islamisasi ilmu dalam pemecahan problem dikotomi pendidikan islamadalah spirit yang ditawarkan al-Faruqi dalam rangka memecahkan problem dikotomi pendidikan Islam adalah Islamisasi Ilmu dalam pendidikan Islam. Menurut al-Faruqi, para akademikus muslim harus menguasai semua disiplin ilmu modern, memahami disiplin tersebut dengan sempurna, dan merasakan itu sebagai perintah agama. Setelah itu mereka harus mengintegrasikan pengetahuan baru tersebut kedalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali, dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world view Islam dan menetapkan nilai-nilainya.[16]

Upaya lain dalam rangka perjumpaan sains dan agama adalah mengembangkan ilmu agama dengan bantuan ilmu pengetahuan modern. Karena ilmu agama adalah salah satu jenis ilmu manusia yang dapat berubah, berinteraksi, menyusut, dan mengembang. Termasuk di dalamnya untuk menafsirkan teks-teks agama, kita membutuhkan beragam jenis ilmu yang lain, agar pemahaman kita terhadap ayat suci tidak stagnan. Di sinilah tampak pentingnya mendialogkan wilayah sains dan teknologi serta wilayah kajian humaniora dan ilmu-ilmu sosial dalam studi–studi keagamaan.[17]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

1.    Secara garis besar istilah dikotomi ilmu yang dipakai mengerucut pada perbedaan antara ilmu agama dan ilmu umum, yang artinya semua eksistensi ilmu dipertentangkan dan dipisahkan antara satu dengan lainnya dalam bingkai realitas yang terfregmentasi menjadi sub sistem yang masing-masing berdiri sendiri. Konsekuensi dikotomi akan berimplikasi pada keterasingan ilmu-ilmu agama terhadap kemodernan dan menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai agama.

2.    Awal mula perdebatan dikotomi ilmu dalam islam dimulai dengan kemunculan penafsiran dalam ajaran Islam bahwa Tuhan pemilik tunggal ilmu pengetahuan (Maha ‘Alim). Ilmu pengetahuan yang diberikan pada manusia hanya merupakan bagian terkecil dari ilmu-Nya, namun manusia diberi kebebasan untuk meraih sebanyak-banyaknya. Keyakinan ini yang pada puncaknya melahirkan perdebatan dikotomi ilmu dalam pemikiran islam, yaitu pertentangan dikotomi ilmu dengan istilah kelompok ilmu antroposentri (akal/filsafat) dihadapkan dengan kelompok ilmu teosentris (kewahyuan/agama).

3.    Salah satu faktor mencolok penyebab kemunculan dikotomi ilmu adalah fanatisme dalam beragama yang melahirkan sikap eksklusivisme. Gerakan islam termasuk dalam kategori gerakan eksklusif tersebut. Mereka hanya bergaul dengan kelompoknya dan mengisolasi diri dari yang lain. Akibatnya, pemikiran islam tidak berkembang dan terisolasi dari perubahan maupun perkembangan kemajuan zaman. Padahal, kecenderungan menutup diri membuat suatu disiplin imu dalam hal ini sistem keilmuan islam menjadi tidak utuh lagi, terbentuk secara parsial dan tercerai berai yang pada akhirnya membentuk ketidakstabilan manusia antara jasmani dan rohani.

4.    Dampak yang dihasilkan akibat dikotomi ilmu yakni terjadi disharmoni relasi antara pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat kauniyah, mengantar dunia pendidikan di Indonesia menjadi suatu pendidikan yang mandul dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang tidak bertanggungjawab terhadap kehidupan kemasyarakatan dan lingkungan, melahirkan ahli-ahli agama yang tidak peka terhadap kehidupan sosial, dan gagap tehadap perkembangan dunia modern, serta dampak lainnya.

5.    Solusi yang dapat ditawarkan untuk permasalahan dikotomi ilmu antara lain menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam, melakukan modernisasi pendidikan Islam dan peintegrasian ilmu, dan solusi lainnya.

 

B.  Saran

Pemakalah menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan,maka dari itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya kesempurnaan isi dari makalah ini. Atas kritik dan saran yang Anda berikan, kami mengucapkan Terima kasih. Semoga makalah ini bermanfaat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Buku:

Djamas, Nurhayati, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Rachman Assegaf, Abd., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Supiana, Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017.

Ungguh Muliawan, Jasa, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

 

Jurnal:

Asyari, Akhmad & Rusni Bil Makruf, “Dikotomi Pendidikan Islam: Akar Historis dan Dikotomisasi Ilmu”, El-Hikmah, 8: 2, Desember 2014.

Hafidz, “Epistimologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi Keilmuan Pesantren”, FENOMENA, 14: 2, Oktober 2015.

Hasan Bisyri, M., “Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan”, Forum Tarbiyah, 7: 2, Desember 2009.

Wahid, Abdul, “Dikotomi Ilmu Pengetahuan”, ISTIQRA’, 1: 2, Maret 2014.

 

 

 



[1] Akhmad Asyari dan Rusni Bil Makruf, “Dikotomi Pendidikan Islam: Akar Historis dan Dikotomisasi Ilmu”, El-Hikmah, 8: 2, (Desember 2014), h. 1-2.

[2] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 1.

[3] Hafidz, “Epistimologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi Keilmuan Pesantren”, FENOMENA, 14: 2, (Oktober 2015), h. 238-239.

[4] Akhmad Asyari dan Rusni Bil Makruf, “Dikotomi Pendidikan Islam..., h. 4-6.

[5] Abdul Wahid, “Dikotomi Ilmu Pengetahuan”, ISTIQRA’, 1: 2, (Maret 2014), h. 278-279.

[6] Supiana, Metodologi Studi Islam, (Bnadung: Remaja Rosdakarya, 2017), h. 36-39.

[7] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan..., h. 203-206.

[8] Supiana, Metodologi Studi Islam..., h. 39-40.

[9] Hafidz, “Epistimologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi..., h. 240-241.

[10] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan..., h.206-207.

[11] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 207-208.

[12] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 22.

[13] M. Hasan Bisyri, “Mengakhiri Dikotomi Ilmu dalam Dunia Pendidikan”, Forum Tarbiyay, 7: 2, (Desember 2009), h. 181-183.

[14] Akhmad Asyari dan Rusni Bil Makruf, “Dikotomi Pendidikan Islam..., h. 2-3.

[15] Supiana, Metodologi Studi Islam..., h. 40-41.

[16] Hafidz, “Epistimologi, Intelektual, dan Problem Dikotomi..., h. 241-243.

[17] M. Hasan Bisyri, “Mengakhiri Dikotomi Ilmu..., h. 189.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah tentang Perkembangan Pendidikan Pada Masa Pendudukan Jepang dan Awal Kemerdekaan

MAKALAH KONSEP DASAR PSIKOLOGI PENDIDIKAN